Featured Post

Recommended

5 Destinasi Wisata di Sulawesi Barat

Mamuju adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Barat. Di kawasan ini Anda bisa menemukan berbagai keindahan alam yang memukau, yang tentunya...

Isi Perjanjian Rante Bulahang Suku Mandar

Isi Perjanjian Rante Bulahang Suku Mandar

Perjanjian Rante Bulahang terjadi pada sekitar abad XVII masehi yang melibatkan dua kerajaan, yaitu ; Kerajaan Balanipa dan kerajaan Rante Bulahang. Tempat dilaksanaknnya perjanjian ini adalah di wilayah Rante Bulahang tepatnya di Lembang Matangnga.


Perjanjian ini terjadi ketika raja Balanipa pergi ke Rante Bulahang mencari pelarian perang orang-orang Passokkorang yang banyak meminta perlindungan di daerah matangnga wilayah Rante Bulahang.


Dengan pertimbangan kemanusiaan, tujuh kerajaan dalam persekutuan Pitu Ulunna salu yang diwakili oleh kerajaan Rante Bulahang meminta pada kerajaan Balanipa agar orang-orang Passokkorang tersebut tetap dibiarkan hidup dan tinggal di Rante Bulahang dalam status terbatas.


Raja Balanipa memenuhi permintaan tersebut dan orang-orang Passokkorang dianggap sebagai rakyat pemberian kerajaan Balanipa kepada kerajaan Rante Bulahang secara khusus dan kepada persekutuan Pitu Ulunna salu secara umum.


Walaupun dalam perjanjian ini kerajaan Balanipa tidak mewakili kerajaan-kerajaan di Pitu Baqbana Binanga secara resmi, tapi dengan sendirinya Perjanjian Rante Bulahang dikenal sebagai perjanjian pertama yang terjadi antara Pitu Ulunna salu dengan Pitu Baqbana Binanga.



Perjanjian Rante Bulahang Suku


Secara lengkap, prosesi Perjanjian Rante Bulahang adalah sebagai berikut ; 


Fashlun. Pannassai iyamo diq-e pura loa di Rante Bulawane, dilalanna lembang di Matangnga, nasituruq-i litaq di Balanipa.


Naua Balanipa ;”E, Rante Bulawang, madzondong duambongi anna tassi peppondoang tassi bokorang tapada sule di tondoqtaq. Mesa tappa kira-kira mesa tappa welai, iq-o tatti aluppe, iyau tammalilu. Anna iya topa muaq diang tosisala timu, tosisala bikkung, tosisala paeq, tosisala batta uwase di Ulunna Salu, di parittiqna uwai lambiq di sambanambena litaq di Balanipa. Disaliwanna topa naminna-minna toa dilalanna litaq di Passemandarang, daiq situndang matadzang, daiq siroyong masandeq. Sipatuppuiq di adaq sipaleteiq di rapang. Padza melleteiq di petawung tapalandang, padza mannunnung di sasiq tapagittiq, sipurrus pekkali susuang, sipamalambuang tangalalang. Latta uwakeq natedzoang, rappaq batu-batu taindaq-i, angga sorena diapiang annaq tapajai. Apaq maliluiq sipakaingaq, maraqba sipatokkong, labeang sipatoppaq, ingganna Ulunna salu, Diparittiqna uwai, sallengoang sambeluang”.


Nauamo litaq di Rante Bulawang ;”Rannunna rannuq-u makkerannu laeng duapaq diolona litaq di Balanipa upaoroang todzioloq nau pappasanang dianaq dimundi, upoaattang di langiq kadanna sappura loau litaq di Balanipa nau appalakang, upatumballeang paleq lima di dewata diwao dewata dilalang banua, dewata di saliwanna tondoq, nana peq-irrangngi tala bingai, tala butai diolona litaq di Balanipa. Taq-utambai anna sule, taq-u patorro anna torro. Tala upangande tala upengeruq-i dilalanna lembang di Matangnga loana litaq di Balanipa. Apaq iya sia Rante Bulawang, pendua pettallung siari narannuang Pitu Ulunna Salu, Parittiqna Uhai, Nauanna tomi litaq di mamasa Parrondong Bulawani, Sundaqdaq Manaqna. Upaumbanani balimbing, uparumbeiyang roppong uwe Balanipa. Madzondong duambongi anna reqde leqdeq leqboq mendaummo sasi, naitumbammi parondong bulawang sundaqdaq maniqna litaq di Balanipa. Iya topa muaq muluangandaq panggaraga lendaq, musoeangandaq pambusoq tojaba mettama di Matangnga, namu tombommi balimbing, namu sappiqmi roppo uwemu Balanipa. Tau di lembang Matangnga tau muane tau di Ulunna Salu, diparittiq uwai tau di Rante Bulawang. Paboro titanduqmi paborongang bulalaqmi namattendemmo kutang nisora-sora. Dokeq dibandangani Balanipa. Nadzi lesseqmo batu kurangang di Ulunna Salu di Baqbana Madatte nadzi lalimmo kayu di Lego nadzi pallalangi bukunna nene, muaq namu pelei dipura kadanna Balanipa, lambiq di Pitu baqbana Binanga”.


Terjemahan ;


Fasal. Inilah yang menjelaskan perjanjian Rante Bulahang di daerah Matangnga dengan Balanipa.


Berkata Balanipa ;”Hai Rante Bulahang ! Besok lusa kita semua sudah kembali ke wilayah masing-masing, satu tidak iri satu tidak memandang rendah, engkau tidak lupa dan aku tidak ingkar. Jika ada yang berselisih kata berbeda sikap, di Pitu Ulunna Salu, di Tiparittiqna Uhai sampai pada daerah tetangga Balanipa atau diluarnya dimana saja di wilayah Mandar, jangan kita saling mengingatkan dengan benda tajam, jangan pula dengan benda runcing. Kita semua tunduk pada hukum, saling berjalan pada aturan. Kita saling melangkah di atas pematang yang kita rentang, saling menuntun tali pelurus yang kita bentang, saling kunjung mengunjungi, saling melapangkan jalan. Sama-sama putus akar ditendang, pecah batu kita injak, sampai kita semua tiba berlabuh pada kebaikan baru kita berhenti. Kita khilaf saling mengingatkan, kita jatuh saling mengangkat, berkata saling mempercayai seluruh Pitu Ulunna Salu, Tiparittiqna Uhai, seluruh wilayah Lenggoq seleruh daerah Beluang”.


Berkata Rante Bulahang ;”Dengan segala senang hati saya menyambut ucapan Balanipa. Saya hadirkan orang-orang tua, akan kuamanahkan pada anak cucu, kupersaksikan ke langit semua ucapan Balanipa. Saya mohonkan dengan menadahkan tangan kepada dewata di atas dewata di bawah, dewata di dalam dewata di luar. Dia pasti mendengar karena dia tidak tuli, dia pasti melihat karena dia tidak buta. Saya akan tempatkan juga Mamasa sebagai pendamping terbaik, patriot setia bagi Balanipa. Besok lusa air laut meluap karena pasang, akan bergeraklah pendamping terbaik. Dan juga jika engkau memberikan janji serta jerat jawa masuk di wilayah Matangnga, berarti engkau lubangi belimbing (dinding dari akar kayu), musnah pula hutan rotan Balanipa. Rakyat di daerah Matangnga, di Pitu Ulunna Salu, di Tiparittiqna Uwai, adalah manusia perkasa, manusia pemberani di Rante Bulahang. Akan berantakanlah semua janji, musnahlah kesepakatan, yang tersisa ditangan hanyalah kutang bercorak, tibalah pada gagang tombak Balanipa. Akan ditebarlah batu karang sampai ke Pitu Ulunna Salu, di muara Madatte, akan diangkut kayu lego untuk mengangkut tulang belulang nenek moyang, jika Balanipa mengingkari janji sampai pada Pitu baqbana Binanga”.


****


Daftar Kepustakaan


Abdul Muttalib ; Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Jakarta 1977.


Ibrahim, MS ; Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X, Tinambung Polmas 1977.


H. Saharuddin ; Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.


Ahmad Sahur ; Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang 1975.


Drs. Suradi Yasil dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang 1982


Drs. Suradi Yasil dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar – Proyek IDKD Sulsel 1985.


A.M.Mandra ; Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987


A.M.Mandra ; Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.


A.M.Mandra ; Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan Saq-Adawang, 2000.


Abd.Razak, DP ; Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.


Sumber Data

Sumber tertulis ;

Lontar Balanipa Mandar

Lontar Sendana Mandar

Lontar Pattappingang Mandar

Lembar Perjanjian kuno

Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar


Sumber Wawancara

H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan Budayawan Mandar

Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar

Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar

Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar

Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar

Daeng Matona – Hadat Pamoseang

Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq


Editor

Adi Ahsan, S.S.M.Si.

Opy. MR.

Isi Perjanjian Tadzuang Suku Mandar

Isi Perjanjian Tadzuang Suku Mandar

Perjanjian ini terjadi tanpa direncanakan baik tempat maupun agendanya, karena kesepakatan yang diambil hanyalah kesepakatan dari pertemuan antara Maraqdia Pamboang dengan Tokearaq atau Puang Tosiwawa Adaq dari Limboro Rambu-rambu Sendana.


Suatu ketika, sebelum Tonisora anak Tomakakaq di Peurangang menantu raja Puttanoeq Sendana menjadi raja resmi yang pertama di Pamboang, kekacauan terjadi akibat serangan secara sembunyi-sembunyi dari orang atau pihak yang tidak dikenal. Penyerang itu datang dari gunung/hutan yang setiap malam membunuh masyarakat kerajaan Pamboang.


Datanglah utusan raja Pamboang menemui raja Sendana meminta bantuan untuk mengatasi para pengacau tersebut. Raja Sendana mengutus dua orang Suro tannipasang (Diplomat yang berkuasa penuh) menemui Tokearaq di Limboro Rambu-rambu untuk diminta kesediaannya membantu raja Pamboang.


Tokearaq akhirnya berangkat ke Pamboang dengan membawa dua ekor anjing pelacak yang bernama ibokka dan isarebong. Dalam tugas yang diemban tersebut, Tokearaq sukses menumpas para pengacau dan memenggalalanya satu demi satu lalu dibawa ke wilayah kerajaan Pamboang kemudian kembali ke Sendana dengan diam-diam tanpa menemui raja Pamboang terlebih dahulu untuk berpamitan.


Mendengar laporan dari masyarakat tentang keberhasilan dan pulangnya Tokearaq dengan diam-diam, raja Pamboang segera mengirim utusan menyusul Tokearaq dan meminta kesediaannya untuk ke istana menemui raja pamboang sebelum kembali ke Sendana.


Di suatu tempat, utusan raja Pamboang berhasil menemui Tokearaq yang sedang beristirahat dan langsung menyampaikan pesan dari raja Pamboang. Namun karena merasa lelah, Tokearaq berbalik meminta agar raja Pamboang yang berkenan menemuinya.


Raja pamboang akhirnya berangkat menemui Tokearaq bersama beberapa pengawal dan sepasang muda mudi yang akan diberikan sebagai tanda terima kasih. 


Pada kejadian ini, tempat beristirahatnya Tokearaq mulai dikenal sebagai satu perkampungan dengan nama Tadzuang karena pada saat beristirahat sampai datangnya raja Pamboang ke tempat tersebut, Tokearaq sementara makan sirih (tadzu) di atas batu.


Pertemuan antara raja Pamboang dan Tokearaq inilah yang kemudian melahirkan beberapa kesepakatan yang dikenal dengan nama Perjanjian Tadzuang atau Pura Loa di Tadzuang.


Perjanjian Tadzuang terjadi pada sekitar abad XI / XII masehi dengan pihak-pihak yang bersepakat yaitu : 

Raja atau yang bergelar Tomemmara-maraqdia di Pamboang

Tokearaq atau Puang Tosiwawa Adaq dari Limboro Rambu-rambu kerajaan Sendana.

Sepasang muda-mudi yang menjadi hadiah persembahan kerajaan Pamboang kepada Tokearaq.


Perjanjian Tadzuang


Secara lengkap, isi Perjanjian Tadzuang atau Pura Loa di tadzuang adalah sebagai berikut:


Iyamo diq-e (mesa tommuane mesa towaine) tanda riona litaq di Pamboang lao di Puang Tosiwawa Adaq namalluppui namalai lao di Sendana, di Limboro Rambu-rambu.


Terjemahan :


Inilah (satu laki-laki satu perempuan) sebagai persembahan tanda terima kasih kerajaan Pmbauang pada Puang Tosiwawa Adzaq untuk dibawa ke Sendana, di Limboro Rambu-rambu.


Nauamo Puang Tosiwawa Adaq ; Utarimai tanda riona litaq di pambauang, nasabaq Tomemmara-maraqdia di pambauang. Sanggadzi mesa, bei litaq ingganna naulle nauma maqguliling, nana potuoi siola anaq appona, anna dziang naleppangngi anaq appou moaq tambaq-i mamarangi landur.


Terjemahan :


Berkata Puang Tosiwawa Adzaq ; Saya terima persembahan dari kerajaan Pambauang. Hanya saja, berikan mereka tanah seluas yang mampu mereka garap disekitar sini, untuk bekal hidup bersama anak cucunya, agar ada tempat singgah anak cucu saya bila dia haus atau lapar pada saat melewati tempat ini.


Mottommoq-o diniq. Anaq appou annaq anaq appomu iqdai mala sipaq-andei kira-kira, iqdai toi mala mupaloliq di barung-barung moaq meloq-i mappassau occommi moaq nasambongi. Tettoi iq-o, madzondong duambongi annaq magarringoq-o, tanni paumo moaq diang mappandeo peoqdong namappadzunduo pelango, pellambiq-o di Sendana.


Terjemahan :


Tinggallah kalian disini. Anak cucu saya dan anak cucu kalian tidak boleh salig iri. Jangan biarkan anak cucu saya berbaring melepaskan lelah di atas balai-balai jika dia singgah apalagi bila mau menginap di sini. Begitu juga kamu, bila suatu saat kamu sakit apalagi bila ada yang memberimu racun, datanglah ke Sendana.


Tanna jolloq-o taruno tanna lalangoq-o peq-illong di litaq Pambauang, moaq taq-ilalang paq-issangannai Sendana tanna patuppuo di adzaq tanna paleteo dirapang, otandi adzaq otandi rapang di Sendana.


Terjemahan :


Kamu tidak bisa diperintah dan disuruh di kerajaan pambauang tanpa sepengetahuan Sendana, juga tidak dikenakan hukum dan peraturan di Pambauang yang tidak sesuai dengan hukum dan peraturan di Sendana. 


Nauamo Tomemmara-maraqdia di Pambauang ; uammongi taq-ubaqbarang paq-annana tosiwawa adzaq, nau pappasangang dianaq appou litaq di pambauang.


Terjemahan :


Berkata Tomemmara-maraqdia ; Saya pegang teguh segala apa yang ditetapkan Puang Tosiwawa Adzaq dan akan kuamanahkan pada anak cucuku.


Yang dimaksud oleh Puang Tosiwawa Adzaq atau Tokearaq diberikan tanah tersebut adalah sepasang pemuda dan pemudi yang menjadi hadiah sebagai ucapan terima kasih kerajaan Pamboang atas keberhasilannya menumpas para pengacau. Sepasang muda mudi tersebut tidak dibawa ke Sendana tapi diberi kebijaksanaan untuk tinggal ditempat tersebut. Sepasang mudi mudi inilah yang kemudian berkembang turun temurun di tempat itu yang sekarang dikenal dengan nama Tadzuang.


Sesuai pesan Tokearaq, masyarakat diperkampungan ini tidak diperintah oleh Tomemmara-maraqdia Pambauang tanpa sepengetahuan Sendana dan juga tidak dikena hukum serta aturan kerajaan Pamboang selama aturan dan hukum itu tidak sesuai dengan hukum dan aturan yang ada di Sendana.


 ****



Daftar Kepustakaan



Abdul Muttalib ; Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Jakarta 1977.


Ibrahim, MS ; Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X, Tinambung Polmas 1977.


H. Saharuddin ; Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.


Ahmad Sahur ; Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang 1975.


Drs. Suradi Yasil dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang 1982


Drs. Suradi Yasil dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar – Proyek IDKD Sulsel 1985.


A.M.Mandra ; Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987


A.M.Mandra ; Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.


A.M.Mandra ; Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan Saq-Adawang, 2000.


Abd.Razak, DP ; Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.


Sumber Data

Sumber tertulis ;

Lontar Balanipa Mandar

Lontar Sendana Mandar

Lontar Pattappingang Mandar

Lembar Perjanjian kuno

Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar


Sumber Wawancara

H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan Budayawan Mandar

Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar

Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar

Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar

Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar

Daeng Matona – Hadat Pamoseang

Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq


Editor

Adi Ahsan, S.S.M.Si.

Opy. MR.

Isi Perjanjian Tamajarra Suku Mandar

Isi Perjanjian Tamajarra Suku Mandar

 Banyak persepsi yang muncul dari para penulis dan pengkaji sejarah Mandar tentang berapa kali perjanjian Tamajarra dilaksanakan. Diantara persepsi itu ada yang mengatakan tujuh kali, empat kali, tiga kali, bahkan ada yang mengatakan lebih dari tujuh kali. Perbedaan pendapat yang muncul dari para pakar sejarah Mandar ini memang sangatlah mungkin terjadi mengingat sumber data utama yaitu lontar masih sangat sedikit yang sempat ditemukan.


Namun perbedaan pendapat ini bukanlah suatu hal yang akan melemahkan semangat para penulis, karena pengungkapan dan penggalian sejarah bukanlah harga mati atau kebenaran mutlak dari seorang penulis dengan sumber data yang didapatnya, melainkan dasar untuk pengembangan dari sumber data yang ditemukan berikutnya oleh penulis lain maupun penulis yang sama.


Dalam penulisan ini, penulis hanya menemukan sumber data yang mencatat tentang perjanjian Tamajarra yang dilaksanakan sebanyak dua kali, yang kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Tamajarra Pertama dan Perjanjian Tamajarra Kedua. Namun sampai saat ini penulis juga teramat yakin kalau perjanjian Tamajarra diadakan lebih dari dua kali.


Perjanjian Tamajarra Pertama


Perjanjian Tamajarra pertama terjadi pada sekitar abad XV masehi di Tamajarra dengan tujuan utama membicarakan penyerangan dan penghancuran kerajaan Passokkorang yang mengacau hamper di seluruh wilayah Mandar pada saat itu. Rencana diadakannya perjanjian ini dibicarakan dalam satu pertemuan sebelumnya di Podang Sendana. Hanya saja, pertemuan awal ini tidak dijelaskan secara khusus, baik dalam lontar yang sama maupun dalam lontar yang lain.


Kerajaan-kerajaan yang ikut dalam perjanjian Tamajarra pertama ini adalah kerajaan Balanipa, kerajaan Sendana, kerajaan Banggae, kerajaan Pamboang, kerajaan Tapalang, dan kerajaan Mamuju atau lebih tepatnya kerajaan-kerajaan yang ada di daerah pantai kecuali kerajaan Benuang yang tidak ikut serta.


Sesuai dengan tujuan utamanya, sesudah diadakannya pertemuan, penyerangan dalam rangka penghancuran kerajaan Passokkorang dilakukan dibawah pimpinan Tamanyambungi raja Balanipa. Tapi penyerangan pada saat itu tidak berhasil termasuk penyerangan-penyerangan selanjutnya yang dilakukan beberapa kali.


Melihat kenyataan ini, Tamanyambungi merencanakan perjanjian Tamajarra kedua yang akan melibatkan semua kerajaan di Mandar. Tapi sebelum rencana pertemuan itu terlaksana, Tamanyambungi wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Tomepayung. 


Dibawah komando Tomepayung, perjanjian Tamajarra kedua dilaksanakan dan untuk pertama kalinya, seluruh kerajaan yang ada di Mandar bekerjasama dan berhasil menghancurkan kerajaan Passokkorang.


Namun rencana pembentukan persekutuan seluruh kerajaan di Mandar yang digagas oleh Tamanyambungi tidak terlaksana, karena yang dilakukan Tomepayung setelah berhasil menghancurkan Passokkorang hanyalah membentuk persekutuan semua kerajaan yang ada di daerah pantai. Disinilah awal mula terbentuknya Persekutuan Pitu Baqbana Binanga (PBB) atau persekutuan tujuh kerajaan yang ada di muara sungai.


Secara lengkap, prosesi Perjanjian Tamajarra pertama adalah sebagai berikut :


Tepui tangngar di Podang, sirumummi tau di Tamajarra maqjuluq tangngar maqjuluq nawa-nawa mammesa pattuyu mappenduku mappendongang aburassunganna Passokkorang.


Nauamo litaq di Napo ;”Meq-apai tangngarna litaq di Sendana ?”


Nauamo Sendana ;”Meq-apai mieq banggae, Pamboang, Tapalang, mamuju ?”


Nauamo banggae ;”Balanipamo annaq Sendana namapia maq-anna tangngarang”


Mattimbaqmi Pamboang, Tapalang annaq mamuju mappattongang loana Banggae.


Nauamo litaq di Napo ;”Natumbiringi natuppattoi litaq di mandar, moaq iqdai mala lumbang pasoranna passokkorang, ropoq kotana. Tammalami mattittoq bannis tau maiqdittaq, tammala tomi mandundu uwai saq-ammeang, napateng aburassunganna Passokkorang meabong allo wongi. Innang nani bunduppai Passokkorang siola nebeta topai maqbunduq annaq mala lewa litaqtaq di Mandar, anna mala maq-ita tindo tau maiqdittaq”.


Nauamo Sendana ;”Tongang sannaq-i paunna Napo. Matemi Maraqdia Ibaro-baro napatei maraqdia Passokkorang, nala topa bainena. Tanniua madzondong tanniua duambongi itaq towomo nalelei, moaq mangande apimi agenggeanna Passokkorang. Pissangi Napo meloq maq-anna bunduq kayyang, pessappuloaq adoq, apaq dotai lao nyawa dadzi nalao siriq. Meq-apai tangngarna Banggae, Pamboang, Tapalang, mamuju ?”.


Siramba-rambangammi mattimbaq paunna Sendana maq-ua ;”Inna mapia nasanga Sendana siola Balanipa, nani pomate nani potuo pemali nani peppondoq-i”.


Nauamo Sendana ;”Bunduqdi tutia nirumungang tau nipammesang pattuyu, nisipomateang nisipotuoang. Litaq annaq tau, odzi adzaq odzi biasa tia”.


Nauamo Napo ;”Padza nipeadaq-i adaqtaq padza niperapangi rapattaq, litaq anjoriq simemanganna, tau tipatettoi. Padza niposoe soeta, padza nipojappa jappataq di litaqtaq. Iya tia muaq dilalang bunduq-i tau, mesai bamba mesa toi kedzo, mate sammateang tuo sattuoang. Moaq messummi digumana anu matadzattaq, pemali membaliq digumana moaq iqdai malele bunduq. Dotai karewa limbang diaja dadzi nakarewa manyomba. Iya-iyannamo tau meppondoq dibunduq mamboeq allewuang, puppus sorokawu, niala topa litaqna siola taunna niware-ware. Ammongi tanni baqbarang uru pau pura loa, limbang nyawa tallallaq pura loa”.


Terjemahan :


Setelah bulat pertimbangan di Podang, berkumpullah kita di Tamajarra melakukan musyawarah mufakat, bertekad bulat duduk tengadah memikirkan kekejaman kerajaan Passokkorang.


Berkata Napo ;”Bagaimana pertimbangan Sendana ?”


Berkata Sendana ;”Bagaimana juga pertimbangannya Banggae, Pamboang, Tapalang, mamuju ?”


Berkata Banggae ;”Balanipa saja dengan Sendana yang berembuk”. Pamboang, Tapalang, Mamuju membenarkan saran Banggae. 


Berkata Sendana ;”Bagaimana pertimbangan Napo ?”


Berkata Napo ;”Mandar terancam hancur jika jika tembok dan benteng kekuatan kerajaan Passokkorang tidak dihancurkan. Rakyat banyak tidak akan bisa memakan sesuap nasi dan meminum air walau seteguk karena kekejaman Passokkorang yang selalu menghantui siang malam. Harus kita serang dan kalahkan demi keselamatan daerah Mandar serta ketenangan rakyat kita”.


Berkata Sendana ;”Benar sekali pendapat Napo. Raja Ibaro-baro sudah mati dibunuh raja Passokkorang, lalu istrinya juga diambil. Tidak besok tidak lusa, mungkin kita lagi yang punya giliran jika Passokkorang semakin merajalela membakar bagai kobaran api. Satu kali Napo berkata mau memerangi Passokkorang, sepuluh kali kami menyetujui. Lebih baik nyawa melayang dari pada harga diri yang hilang. Bagaimana pendapat Banggae, Pamboang, Tapalang, Mamuju ?”


Bersamaan Pamboang, Banggae, Tapalang, Mamuju menjawab ;”Mana-mana yang ditetapkan oleh Sendana dan Balanipa, mati hidup kami mendukung dan pantang mengingkarinya”.


Berkata Sendana ;”Kita berkumpul karena tekad dan semangat untuk berperang, sehidup semati mempertahankan wilayah menyelamatkan rakyat, karena itu sudah menjadi tanggung jawab dan adat kebiasaan”.


Berkata Napo ;”Kita tetap berjalan sesuai adat dan aturan masing-masing. Wilayah ada batasnya memang sudah menjadi aturan, begitu juga dengan masyarakat. Hanya saja, dalam perjuangan atau peperangan kita harus tetap satu kata dengan perbuatan, memegang perinsip mati satu mati semua, hidup satu hidup semua. Bila senjata tajam sudah keluar dari sarungnya, tabu dimasukkan kembali bila peperangan belum tuntas, lebih baik mati dari pada akan menyerah. Siapa-siapa diantara kita yang lari dari perjuangan/peperangan mengingkari sumpah dan janji, akan hidup melarat, wilayahnya dirampas dan rakyatnya dibagi-bagi. Pegang erat perjanjian walaupun nyawa jadi taruhannya”.


Perjanjian Tamajarra Kedua


Perjanjian Tamajarra kedua juga terjadi pada abad XV di Tamajarra dengan tujuan utama membentuk secara resmi persekutuan atau persatuan kerajaan-kerajaan yang ada di daerah pesisir yang kelak dikenal dengan Pitu Baqbana Binanga.


Pembentukan persekutuan Pitu baqbana Binanga ini berlatar belakang pada kekhawatiran akan munculnya kembali orang-orang Passokkorang, hingga dipandang perlu untuk membentuk satu kekuatan, terutama dalam segi pertahanan dan keamanan di wilayah pantai. Pada dasarnya, dalam pertemuan ini, kesepakatan yang dihasilkan hanyalah pada bidang Hankam. Sementara untuk bidang yang lain, misalnya politik, hukum, adat istiadat dan pemerintahan, masing-masing kerajaan tidak saling mencampuri.


Perjanjian Tamajarra kedua diikuti oleh masing-masing raja dari tujuh kerajaan di wilayah pantai yang terdiri dari ;

Tomepayung Raja Balanipa

Puatta di Kuqbur Raja Sendana

Daetta Melantoq Raja Banggae

Tomelake Bulawang Raja Pamboang

Puatta di Karanamo Raja Tapalang

Tomejammeng Raja Mamuju

(Cucu Tokombong di Bura) Raja Benuang.


Secara lengkap, prosesi perjanjian Tamajarra kedua adalah sebagai berikut ;


Sirumummi tau dio di Tamajarra. Diomi Sendana, alatettopa di saliwanna. 


Nauamo Maraqdia Balanipa ;”Iya mieq anna uperoao sanganaq, mapia ai tau mieq massambulo-bulo itaq pitu, apaq malluluareq nasandi tau mieq inggannana Puang, mesadzi nene niperruqdussi disiola-olai, padza apponadzi Tokombong di Bura. Inaimo uppeappoani Maraqdia Mamuju iyatopa Maraqdia Tapalang, Taandirimo. Inaimo uppeappoani Maraqdia Sendana ala iya topa Maraqdia Pamboang, Daeng palulungmo. Tokombong di Bura towandi naperruqdussi. Maraqdia Banggae annaq Maraqdia Benuang Ibokka Padangmo uppeanani, Tokombong di Bura towandi napeppolei”.


Apadzaq-a anna nauamo Maraqdia Sendana ;”Malluluareq nasandi tau, apaq mesa bulo-bulo niperruqdussi. Nainna ami nanaua pattuyunna iq-o mieq”.


Anna nauamo lima lao di Sendana ;”Iq-omo sitangngarang Balanipa”.


Nauamo Balanipa ;”Iq-omo kayyang Sendana”


Nauamo Sendana ;”Pissanoq-o maq-ua, pessapuloaq marannu. Sanggadzi mesa, iyaumo kayyang anna iq-omo Sambolangiq. Iq-omo namuane iyaumo nawaine, annaq anaqmi Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju, Benuang, apaq tokkongi manini pasoranna Passokkorang. Mate madzondongi Balanipa, mate diarawiangi Sendana siola anaqna. Tettoi tia Sendana, situoang simateang Pitu baqbana Binanga”.


Mappatemmi diq-o assituruanna Sendana Balanipa, sipangaanni kalupping sipangaanni talloq annaq siparuppuammi nasaqbiq dewata diaya dewata diong. Iya-iyannamo mappelei pura loa, diongani balimbunganna, diwaoani arrianna”.


Nauamo Tomepayung ;”Iya topa uperoa baine, apaq tua annaq padza tannangi lawaqmu, muaq mettamai inggannana jangang-jangang merriqbaqna litaq Balanipa di litaqmu, anummu tomi Iq-o, iq-o tuq-u baine ala iq-o”.


Anna iyamo diq-o pappeweinna Balanipa, anna bainemo Sendana, anaqmi lima Baqba Binanga,sikadzaeang simapiangang situoang simateang. Mattoanami balanipa dibainena dianaqna tedzong, sisappuloang balasse barras.


Terjemahan :


Berkumpullah kita semua di Tamajarra. Hadirlah Sendana, begitu juga yang lain.


Maka berkata raja Balanipa ;”Yang mendorong saya mengundang saudara semua, ada baiknya kita yang tujuh (wilayah) ini membentuk persatuan karena kita semua Bangsawan bersaudara, satu nenek asal muasal kita. Kita semua adalah cucu Tokombong di Bura. Cucunya siapa raja Mamuju dan juga Tappalang, Taandiri-lah. Cucunya siapa raja Sendana dan juga raja Pamboang, Daen Palulunglah. Tokombong di Bura juga asalnya. Raja Banggae dan Raja Benuang, Ibokka Padang-lah yang melahirkannya, Tokombong di Bura juga asal muasalnya. Itu sebabnya kita semua bersaudara, karena kita berasal dari satu nenek. Bagaimana pendapat sudara ?”


Kemudian berkatalah yang lima (Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju dan Benuang) kepada Sendana ;”Anda saja yang berembuk dengan balanipa”


Berkata balanipa ;”Engkaulah yang besar Sendana”


Berkata Sendana ;”Satu kali engkau katakana, sepuluh kali aku berharap. Hanya saja, sayalah besar tapi engkaulah yang Sambo Langiq. Engkaulah yang jadi suami, sayalah isteri, anaklah Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju, benuang, karena dikhawatirkan orang-orang Passokkorang bisa membangun kembali kekuatannya dan kembali melakukan teror serta penyerangan dimana-mana. Balanipa mati dipagi hari, Sendana mati disore hari bersama anak-anaknya. Begitu juga Sendana, sehidup semati dengan Pitu Baqbana Binanga”.


Begitulah kesepakatan Sendana Balanipa, bersama-sama memegang kalupping, memegang telur lalu dipecahkan bersama-sama disaksikan dewata di atas dewata di bawah. Siapa yang mengingkari janji, balikkan bubungan rumahnya dibawah tiangnya keatas.


Berkata Tomepayung ;”Saya juga memohon, bila ada pelarian tahanan Balanipa masuk diwilahmu, itu sudah menjadi hak kamu”


Itulah kesepakatan Balanipa, istrilah Sendana, anaklah lima kerajaan di Pitu Baqbana Binanga (Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju dan Benuang). Balanipa member Kerbau dan masing-masing sepuluh karung beras.


Catatan :


Sambo Langiq adalah nama burung sejenis elang yang tidak memangsa ayam dan terbangnya selalu yang tertinggi dari burung lainnya. Pengertian harfiah Sambo Langiq adalah ; Sambo sama dengan penutup, Langiq sama dengan langit. Jadi Sambo Langiq artinya Penutup Langit. Ini merupakan kata kiasan yang kemudian dijadikan simbol perlindungan atau yang bisa melindungi. Misalnya ; Matangnga jadi Sambo Langiq di Pitu Ulunna Salu, Limboro Rambu-rambu jadi Sambo Langiq di kerajaan Sendana dan Balanipa jadi Sambo Langiq di Pitu Baqbana Binanga.


****


Daftar Kepustakaan


Abdul Muttalib ; Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Jakarta 1977.


Ibrahim, MS ; Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X, Tinambung Polmas 1977.


H. Saharuddin ; Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.


Ahmad Sahur ; Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang 1975.


Drs. Suradi Yasil dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang 1982


Drs. Suradi Yasil dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar – Proyek IDKD Sulsel 1985.


A.M.Mandra ; Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987


A.M.Mandra ; Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.


A.M.Mandra ; Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan Saq-Adawang, 2000.


Abd.Razak, DP ; Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.


Sumber Data

Sumber tertulis ;

Lontar Balanipa Mandar

Lontar Sendana Mandar

Lontar Pattappingang Mandar

Lembar Perjanjian kuno

Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar


Sumber Wawancara

H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan Budayawan Mandar

Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar

Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar

Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar

Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar

Daeng Matona – Hadat Pamoseang

Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq


Editor

Adi Ahsan, S.S.M.Si.

Opy. MR.

Isi Perjanjian Lombong Suku Mandar

Isi Perjanjian Lombong Suku Mandar

(Assamaturuang di Lombong)


Perjanjian ini berlatar belakang dari perseteruan antara Daeng Riosoq raja Balanipa dengan raja Pambauang yang bergelar Tomatindo di Bata. Perseteruan itu terjadi karena Daeng Riosoq (setelah wafat bergelar Tonipilong) merebut istri Tomatindo di Bata yang bernama Ipura Paraqbueq. Pada saat itu, Ipura Paraqbueq merupakan wanita tercantik di seluruh Mandar sehingga mampu menggoyahkan iman Daeng Riosoq dan merebutnya secara paksa dengan kekuatan senjata.


Akibat peristiwa ini, Tomatindo di Bata bersama para pengawalnya meninggalkan Pambauang menuju ke Ulumandaq dan meminta bantuan pada Tomakakaq Ulumandaq untuk mengambil kembali Ipura Paraqbueq istrinya.


Atas saran dan petunjuk Tomakakaq Ulumandaq, Tomatindo di Bata melakukan penyamaran dengan merubah penampilannya. Dengan ditemani anjing pemburu yang bergelar Itattibayo, Tomatindo di Bata masuk di kerajaan Balanipa menyamar sebagai seorang Tomakakaq. Satu-satunya yang mengenalnya hanyalah Ipura Paraqbueq dengan melihat cincin dan mendengar suaranya.


Disaat Tomatindo di Bata meminta segelas air untuk minum, Ipura Paraqbueq menyuruh seorang nelayan mengantarkan air dalam gelas yang kemudian di bawa kembali oleh pelayan pada Ipura Paraqbueq. Melihat cincin tersebut, Ipura Paraqbueq sudah seratus persen yakin kalau itu adalah suaminya. Ipura Paraqbueq akhirnya mencari akal dan berpura-pura mengidam mau makan daging rusa hasil tangkapan suaminya sendiri. Lalu dimintanya pada Daeng Riosoq untuk pergi berburu rusa. 


Daeng Riosoq yang tidak mengetahui keadaan sebenarnya, merasa sangat bersuka cita mendengar pengakuan Ipura Paraqbueq yang telah mengidam. Karena cinta dan sayangnya yang teramat dalam, Daeng Riosoq akhirnya berangkat berburu dengan meminjam anjing Tomatindo di Bata. Setelah daeng Riosoq pergi, Tomatindo di Bata tidak menyia-nyiakan kesempatan dan segera pergi membawa istrinya ke Ulumandaq.


Di Ulumandaq, Ipura Paraqbueq tidak bisa bertahan lama karena tidak terbiasa makan tanpa lauk ikan. Dengan persetujuan dan bantuan Tomakakaq Ulumandaq yang memintakan tempat di daerah pantai, maka Tomatindo di Bata bersama istrinya serta pengawal-pengawalnya tinggal dan bermukim di Malundaq.


Dari usaha memintakan tempat bermukim ainilah terjadinya Perjanjian Lombong atau Assamaturuang di Lombong, karena tempat diadakannya kesepakatan ini adalah di Lombong Malundaq.


Perjanjian ini terjadi pada sekitar abad XVII masehi dengan pihak-pihak yang terlibat yaitu :

Tomatindo di Bata dengan istrinya Ipura Paraqbueq

Tomakakaq Ulumandaq

Pueq di Lombong, Mosso dan Bambangang

Tomakakaq Sambawo

Pueq di Salutambung, Libaq dan Balanggitang


Perjanjian Lombong


Secara lengkap, kesepakatan yang dihasilkan dalam perjanjian Lombong adalah sebagai berikut :


Nawei engenang naengei mappassau nyawana mappalewa anaoang paqmaiqna Maraqdia di Pambauang sappelluq-uang tedzong ingganna naulle nakae-kaer manuqna siola palluppuinna, niwengang toi leqboq nanaengei mandoang manjala palluppuinna, ingganna lekkotang.


Terjemahan :


Diberi tempat untuk ditempati memulihkan semangatnya, menghilangkan kesedihan hatinya pada raja Pambauang, sekubangan kerbau sejauh yang dapat dijelajah ayam dan pengawal-pengawalnya, juga diberi laut untuk tempat memancing dan menjala sebatas pada kedalaman setinggi lutut.


Napoadzaq adzaqna naporapang rapanna odzi adzaq odzi biasa di litaqna di Pambauang.


Terjemahan :


Dia bebas memakai hukum dan aturan serta adat istiadatnya sendiri, sebagaimana yang berlaku di Pambauang.


Diapiangammi tandi akadzakeang, tandi peoqdong tandi pelango tanna olleq boning tannala pangolleq, tannande pakkira-kira tammappikkir dipettilluqna sawa dipewetona lambaru, tandi paumo dibandangang di kondo bulo. 


Terjemahan :


Dia pada kebaikan tidak pada keburukan, terhindar dari makanan yang bertulang dan minuman yang beracun, tak terjangkau air pasang tak terkena banjir, terluput dari iri terhindar gigitan ular, juga pada sengatan ikan pari, lebih-lebih dari srangan musuh.


Lumbang pai pasorang, reppoq pai kondo bulo maqguliling annaq nalosai muaq diang namappakkesar.


Terjemahan :


Nanti roboh benteng pertahanan, patah remuk semua tombak dan parang pusaka, baru musuh bisa menyentuh raja Pambauang bersama pengawal-pengawalnya.


Moaq meloq-I membaliq di litaqna, tanna eloqna di nassa genainna, naiya engenanna membaliq diassalna.


Terjemahan :


Bila dia ingin kembali ke negerinya (Pambauang), terserah bila sudah merasa mampu dan sanggup. Adapun perkampungan yang ditempatinya akan kembali pada pemiliknya semula.


Pada peristiwa ini, ada yang berpendapat bahwa selama di Malunda Tomatindo di Bata masih menjadi raja Pambauang dan menjalankan roda pemerintahan di Malunda dan ada pula yang berpendapat bahwa Tomatindo di Bata telah digantikan oleh raja yang lain. Sementara perkampungan yang ditempatinya tidak pernah dikosongkan sampai masuknya Belanda dan tempat tersebut tetap diperintah oleh raja Pambauang.


 ****



Daftar Kepustakaan



Abdul Muttalib ; Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Jakarta 1977.


Ibrahim, MS ; Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X, Tinambung Polmas 1977.


H. Saharuddin ; Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.


Ahmad Sahur ; Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang 1975.


Drs. Suradi Yasil dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang 1982


Drs. Suradi Yasil dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar – Proyek IDKD Sulsel 1985.


A.M.Mandra ; Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987


A.M.Mandra ; Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.


A.M.Mandra ; Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan Saq-Adawang, 2000.


Abd.Razak, DP ; Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.


Sumber Data

Sumber tertulis ;

Lontar Balanipa Mandar

Lontar Sendana Mandar

Lontar Pattappingang Mandar

Lembar Perjanjian kuno

Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar


Sumber Wawancara

H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan Budayawan Mandar

Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar

Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar

Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar

Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar

Daeng Matona – Hadat Pamoseang

Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq


Editor

Adi Ahsan, S.S.M.Si.

Opy. MR.

Isi Perjanjian Lanrisang Suku Mandar

Isi Perjanjian Lanrisang Suku Mandar

 Perjanjian ini terjadi pada penghujung abad XVII masehi di Lanrisang (sekarang daerah Jampue kabupaten Pinrang) dengan pihak-pihak yang berjanji yaitu Torisompae Arung Pone (raja Bone) dengan Daeng Riosoq, maraqdia (raja) Balanipa.


Latar belakang diadakannya perjanjian ini, berawal dari penyerangan kerajaan Bone yang bekerjasama dengan Belanda terhadap kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa kalah dan rajanya turun tahta digantikan oleh raja Bone.


Pada awal rencana penyerangan ke kerajaan Gowa tersebut, kerajaan Bone meminta bantuan ke wilayah Mandar, namun Mandar menolak karena konsisten dengan perjanjian yang sudah disepakati bersama Gowa. Akhirnya, Mandar diserang Bone hingga Soreang Balanipa (sekarang Kandeapi) dibakar habis. Kerajaan Balanipa melakukan perlawanan dan berhasil mendesak mundur orang-orang kerajaan Bone. Setelah Gowa berhasil dikuasai Bone dengan bantuan Belanda, Bone kembali menyerang Mandar dan kali ini bekerjasama dengan Gowa.


Pihak Mandar jadi bingung melihat keterlibatan Gowa dalam penyerangan kali ini, karena pada awalnya, Bone menyerang Mandar karena dituduh bersekutu dengan Gowa. Seusai perang itulah, Perjanjian Lanrisang dilaksanakan antara Bone dengan Mandar yang melibatkan Pitu baqbana Binanga secara khusus.


Secara umum, isi perjanjian Lanrisang adalah kesepakatan untuk menghentikan perang dan permusuhan kedua belah pihak serta menjalin persaudaraan dan kerjasama terutama dalam hal menghadapi Belanda yang sudah banyak ikut campur dalam urusan pemerintahan di kerajaan masing-masing.


Perjanjian Lanrisang


Penjelasan tentang prosesi perjanjian ini tertulis dalam lontar Balanipa Mandar sebagai berikut :


Fashlun. Engkani Menreq-e ri Lanrisang situdangeng to Bone Menreq-e. Makkedani Menreq-e ; “Bone mua silaoang Soppeng ulaori. Metauqkaq kassa ri Balandae”.


Makkedani Arung Pone ;”Ajaq metauq siajiang. Iyaqna sia taroiwi Balandae. Maeloq-i mala gajang, gajannapa Bone. Maeloq-i riwarang parang, warang parakupa nala”.


Makkedani Menreq-e ;”Iyana kiella-ellau, arolange mua rikaraengnge kiarolai ri Bone. Kuwae topa kipo rapangnge rapammeng, enrengnge topa kipo bicarae bicarammeng, kipoadaq-e adammeng”.


Makkedani Arumpone ;”Upappada mua tanae ri Bone tanae ri Menreq usapparanna deceng. Masse ajimuiq sia. Padaniq marola ri petta Nabie Muhammad s.a.w, pada pobicaraiq bicaratta, pada porapangngiq rapatta, pada lete ri petawung majekkota, tessi acinnangnge ri abeccukang tessi acinnangngeto ri arajang. Tessi pataqde waram parangngiq, tessipolo tanjengngiq, tessi tato lariwiq. Makkedai Bone nama teppaq Menreq-e, makkedai Menreq nama teppaq Bone. Koniro assituru senna Bone Menreq-e ri lalenna ceppae ri Lanrisang. Inai Arumpone, Torisompae. Inai maraqdia Balanipa, Idaeng Riosoq.


Terjemahan :


Fasal. Sudah hadir Mandar di Lanrisang, duduk bersama dengan Bone Mandar. Berkata Mandar ;”Bone saja bersama Soppeng yang kami datangi. Kami takut pada Belanda”.


Berkata Arung Pone ;”Jangan takut saudaraku. Kamilah yang jadi bork (jaminan) pada Belanda. Kalau dia mau ambil keris, nanti keris Bone yang diambil. Dia mau ambil harta, nanti hartaku yang diambil”.


Berkata Mandar ;”Itulah harapan kami, agar cara kepatuhan kami pada karaeng (Gowa/pen), yang jadi kepatuhan kami ke Bone. Begitu juga kami tetap pakai peraturan kami, dan juga kami punya hak bicara tetap kami pakai, kami pakai hukum kami”.


Berkata Arung Pone ;”Saya samakan tanah Bone dengan tanah mandar, sama-sama saya carikan kebaikan, karena kita adalah berfamili. Samalah kita tunduk pada Nabi kita Muhammad s.a.w, kita sama-sama memakai peraturan kita, sama-sama meniti pada pematang (hukum/pen) lurus kita dan sama-sama menyelesaikan sendiri kemelut hukum kita, saling tidak iri pada kekecilan, tidak pula pada kebesaran. Kita tidak saling menghilangkan harta, juga kita tidak saling keras mengerasi, tidak perlu saling dongkel mendongkel. Berkata Bone Mandar percaya, berkata mandar Bone percaya. Begitulah kesepakatan Bone dengan Mandar dalam Perjanjian Lanrisang. Siapa raja Bone, Torisompae. Siapa raja Balanipa, Daeng Riosoq.


****


Daftar Kepustakaan


Abdul Muttalib ; Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Jakarta 1977.


Ibrahim, MS ; Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X, Tinambung Polmas 1977.


H. Saharuddin ; Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.


Ahmad Sahur ; Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang 1975.


Drs. Suradi Yasil dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang 1982


Drs. Suradi Yasil dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar – Proyek IDKD Sulsel 1985.


A.M.Mandra ; Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987


A.M.Mandra ; Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.


A.M.Mandra ; Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan Saq-Adawang, 2000.


Abd.Razak, DP ; Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.


Sumber Data

Sumber tertulis ;

Lontar Balanipa Mandar

Lontar Sendana Mandar

Lontar Pattappingang Mandar

Lembar Perjanjian kuno

Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar


Sumber Wawancara

H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan Budayawan Mandar

Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar

Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar

Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar

Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar

Daeng Matona – Hadat Pamoseang

Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq


Editor

Adi Ahsan, S.S.M.Si.

Opy. MR.

Isi Perjanjian Saq-adawang Suku Mandar

Isi Perjanjian Saq-adawang Suku Mandar

 Latar belakang diadakannya Perjanjian Saq-Adawang yang juga dikenal dengan Assamaturuanna tomalluluareq di Sendana, adalah pemindahan ibu kota kerajaan Sendana dari Saq-adawang (sebuah gunung di sebelah timur Puttada) ke Podan (daerah pesisir pantai yang masuk daerah desa Sendana sekarang), dengan alas an bahwa pada saat itu daerah pesisir sudah dianggap cukup aman.


Sejak saat itulah, ibu kota kerajaan Sendana pindah ke daerah pesisir pantai. Puatta di Saq-adawang turun ke Podang sebagai pengampuh pemerintahan, sedangkan kakaknya yang bernama Iputtaqdaq tinggal sebagai pengampuh adat di Saq-adawang (kelak ketika wafat, tempat pemakamannya diabadikan dengan namanya dan itulah daerah adat dalam status Pappuangang yang sampai sekarang dikenal dengan nama Puttada.


Di Podang, Puatta di saq-adawang dikenal dengan gelar Puatta di Podang dalam jabata Paqbicara Kayyang.


Namun setelah Belanda datang, ibu kota kerajaan Sendana di pindahkan ke Somba (kelurahan Mosso sekarang) dan susunan serta tata cara pemerintahan tradisional menjadi kacau. Intervensi pemerintah Belanda mengacaukan tatanan dan mekanisme pemerintahan kerajaan. Para raja dan hadat yang tidak mau tunduk pada Belanda disingkirkan lalu digantikan dengan orang-orang yang sebenarnya yang tidak pantas menduduki jabatan tersebut.


Perjanjian Saq-adawang terjadi pada sekitar abad X masehi dengan pihak-pihak yang terlibat yaitu :

Iputtaqdaq, putra raja Sendana yang pertama.

Daeng Palulung

Tomesaraung Bulawang

Puatta di saq-adawang, adik kandung Iputtaqdaq


Perjanjian Saq-adawang


Secara lengkap, dalam lontar Pattappingang Mandar dijelaskan tentang latar belakang diadakannya perjanjian atau kesepakatan ini.


Assamaturuanna Tomalluluareq di Saq-Adawang.


Apa digenaq diq-e tepumi salassaq, meanaq tomi tia Tomesaraung Bulawang, tommuane napeanangang iyamo nisanga Iputtaqdaq. Meanaq bomi mesa nigallarmi pattae di Saq-adawang, Puatta di Saq-adawang. Meanaq bomi mesa towaine iyamo nisanga Petta pance. Apa gannaqmi appeq anaqna, daqdua tommuane daqdua towaine mesa indo mesa ama. Mesa anaq tommuane iyamo nisanga Iputtaqdaq, iya tomo tia bijanna adaq di Puttaqdaq. Adaq di Puttaqdaq mangaji kali Puttaqdaq. Nauamo kakanna onisanga Iputtaqdaq maq-ua ; Naummoq-o di biring bondeq luluareq Puatta Isaq-adawang apaq naupakayyangoq-o naung, maq-ala adaq-i tau, nauamo adaq kayyang oniuanang Paqbicara kayyang di Sendana.


Terjemahan :


Kemudian lengkaplah keraton di Saq-adawang, beranak pulalah Tomesaraung Bulawang, seorang putra yang diberi nama Iputtaqdaq. Melahirkan lagi satu digelarlah Pattae di saq-adawang atau Puatta di Saq-adawang. Melahirkan lagi satu perempuan dialah diberi nama Indara, melahirkan lagi satu perempuan dialah yang diberi nama Patta Panceq. Maka cukuplah empat orang anaknya, dua laki-laki dan dua perempuan seibu sebapak. Satu anak laki-lakinya yang bernama Iputtaqdaq, dialah juga yang menurunkan keturunan adat di Puttaqdaq, adat di Puttaqdaq mengaji kali Puttaqdaq. Maka berkata kakaknya yang bernama Iputtaqdaq ; Turunlah ke wilayah pesisir pantai wahai saudaraku Puatta Isaq-adawang. Saya akan besarkan engkau di sana. Kita akan bentu Hadat. Saya akan menjadikan engkau hadat besar yang bergelar Paqbicara Kayyang di Sendana.

 ****



Daftar Kepustakaan



Abdul Muttalib ; Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Jakarta 1977.


Ibrahim, MS ; Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X, Tinambung Polmas 1977.


H. Saharuddin ; Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.


Ahmad Sahur ; Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang 1975.


Drs. Suradi Yasil dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang 1982


Drs. Suradi Yasil dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar – Proyek IDKD Sulsel 1985.


A.M.Mandra ; Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987


A.M.Mandra ; Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.


A.M.Mandra ; Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan Saq-Adawang, 2000.


Abd.Razak, DP ; Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.


Sumber Data

Sumber tertulis ;

Lontar Balanipa Mandar

Lontar Sendana Mandar

Lontar Pattappingang Mandar

Lembar Perjanjian kuno

Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar


Sumber Wawancara

H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan Budayawan Mandar

Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar

Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar

Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar

Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar

Daeng Matona – Hadat Pamoseang

Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq


Editor

Adi Ahsan, S.S.M.Si.

Opy. MR.

Putu Kaddaro, Makanan Khas Suku Manda Sulawesi Barat

Putu Kaddaro, Makanan Khas Suku Manda Sulawesi Barat

 Penduduk Kabupaten Polewali Mandar memiliki kue tradisional bernama Putu Kaddaro. Rasanya manis dan legit, sangat cocok untuk disajikan dengan kopi manis atau teh panas. Kue tradisional khas suku Mandar ini dibuat dari tepung beras yang dicampur dengan tepung ketan, serta parutan kelapa dan gula aren.



Disebut Putu Kaddaro, karena cetakan untuk membuat kue ini menggunakan Kaddaro atau batok kelapa berukuran sedang. Permukaan kue yang sudah dicetak dengan kaddaro dilapisi dengan gula merah atau pemanis lainnya sesuai selera.


Setelah itu, putu dikukus di tungku tanah liat dan menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar. Meski hanya kepulan asap efeknya yang bikin mata perih, diakuinya pemanfaatan tanah liat ini untuk menambah kenikmatan rasa kue Put Kaddaro.



Proses Pembuatan Putu Kaddaro


Namun sayangnya, meski proses pembuatan kue Putu Kaddaro tergolong mudah, keberadaannya jarang ditemukan. Tidak mengherankan jika penjual kue Putu Kaddaro selalu penuh pembeli. Salah satunya terletak di Kompleks Pasar Rakyat, Kecamatan Luyo, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.


Dahulu, kue Putu Kaddaro sangat mudah ditemukan, baik yang dijual di pasar maupun dihidangkan di setiap acara atau pesta yang berlangsung di daerah ini.


Bagi warga yang penasaran dan ingin menikmati keunikan rasa kue Put Karoro, jangan lupa untuk mampir jika berkunjung ke kawasan ini. Namun demikian, jika Anda tidak ingin repot, Anda bisa melakukannya sendiri.

Tahu apa itu Sureq Marasa Sulawesi Barat

Tahu apa itu Sureq Marasa Sulawesi Barat

 Busana merupakan salah satu bentuk budaya yang merupakan hasil kearifan lokal. Setiap masyarakat memiliki pakaian yang menjadi ciri khasnya dan menjadi bagian dari adat istiadat yang diturunkan dari generasi ke generasi. Begitu pula dengan Provinsi Sulawesi Barat. Di daerah ini, penduduk setempat memiliki kerajinan berupa kain khas yang digunakan sebagai bagian dari pakaian tradisional mereka. Kain tenunnya disebut Lipaq Saqbe atau biasa disebut Sarung Tenun Sutra Mandar.


Ciri khas kain Lipaq Saqbe adalah warnanya yang cerah atau mencolok seperti kuning dan merah dengan desain garis geometris yang lebar. Meski memiliki pola yang sederhana, namun benang emas dan benang perak menjadi bahan dasar untuk membuat kain sutra ini, yang membuat kain Tenun Sutra Mandar terlihat istimewa dan indah.


Lipaq Saqbe dibedakan berdasarkan coraknya atau dalam bahasa Mandar disebut sureq. Ada banyak macam-macam sureq Mandar yang bisa kalian baca disini Macam-macam Motif Tenun Mandar atau Sureq Saqbe Mandar.


Lanching Sureq Marasa


Pada Sabtu 11 September 2021, Gubernur Sulawesi Barat, Ali Baal Masdar menghadiri dan meluncurkan Lipa Saqbe Mandar Sureq Marasa dalam acara Semesta Saqbe Mandar, praktis dari kediaman pribadinya di kawasan Matakali, Kabupaten Polewali Mandar.



Apa itu Sureq Marasa?


Sureq Marasa merupakan motif tenun baru Sulawesi Barat, gagasan dari Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Barat. Terdiri dari kombinasi 3 sureq, yaitu Sekomandi Kalumpang, Sambuq Mamasa dan Saqbe Mandar.


Tujuan Sureq Marasa dibuat sebagai upaya melestarikan dan mempromosikan 3 kain unggulan Sulawesi Barat yang merupakan warisan nenek moyang kita.

Refreshing di Central Mamuju, Budong Budong, Sargatta Peak

Refreshing di Central Mamuju, Budong Budong, Sargatta Peak

 Jika Anda perlu refreshing di puncak, Anda bisa mencoba puncak satu ini. Namanya Puncak Salugatta, Budong-Budong, Mamuju Tengah

Tempatnya mudah dijangkau, karena bersebelahan dengan jalan raya Trans Sulawesi di kawasan Desa Salugatta. ketika Anda melakukan perjalanan menuju Mamuju, Anda akan melewati puncak ini.


Berbagai jajanan tersaji disini dari para pedagang UMKM di masyarakat sekitar, sehingga ada beberapa gerai yang menyediakan berbagai menu makanan dan minuman sambil menikmati pemandangan alam yang mempesona dan angin yang terus membawa kehangatan.


Spot Foto di Puncak Salugatta


Tak lupa, tempat ini menawarkan berbagai spot fotografi yang bisa digunakan untuk berfoto.


Menu makanannya sangat variatif guys, mulai dari es krim buah, es campur, es krim kelapa muda, kacang rebus, jagung rebus, latte dan masih banyak menu makanan dan minuman lainnya yang sangat menggugah selera.


Jadi tunggu apa lagi buat kalian yang sering jalan-jalan ke Mamuju dan ingin menikmati alam dan pemandangan hamparan tanaman kelapa sawit dari atas jangan lupa mampir ya guys. Saya jamin Anda akan betah di sini.a

Gambaran menakutkan dari Doti atau Paissagang di Tanah Mandar

Gambaran menakutkan dari Doti atau Paissagang di Tanah Mandar

 Berbicara tentang ilmu pelet dan berhubungan dengan dunia gaib, siapa yang tidak mengenal suku Mandar, tidak lantas membanggakan suku ini sebagai suku terkuat yang tidak bisa selalu logis. Namun, hampir semua orang di jazirah Sulawesi mengenal suku Mandar sebagai suku yang identik dengan ilmu gaib ini. Entah kenapa hal ini bisa terbentuk dalam persepsi orang. Pencitraan adalah sesuatu yang terbentuk dari pengalaman dan ini telah terjadi dan terbentuk dalam jangka waktu yang lama. Kemungkinan peristiwa magis banyak terjadi dan melibatkan orang-orang dari latar belakang etnis Mandar, karena itu kemudian terbentuk persepsi yang dalam pandangan sebagian orang “menakutkan” dan “mengerikan”.



Jika Anda orang Mandar percaya saja jika Anda mengunjungi daerah di luar Mandar maka Anda akan diidentikkan dengan orang-orang yang memiliki kesaktian, menguasai beberapa ilmu, mantra, dan doti, serta paissangang yang dapat melemahkan orang yang tidak Anda sukai. Sedikit banyak hal ini merugikan generasi yang tumbuh dewasa ini, mereka mungkin cenderung dicitrakan secara negatif oleh pandangan ini, dan Anda akan langsung menolak dan meluruskan pandangan yang tidak semua orang Mandar mengetahui dan memiliki kemampuan pelet ini.



Sedikit Cerita Tentang Doti atau Paissangang

Doti yang kurang lebih sama dengan paissangang dalam bahasa Mandar adalah ilmu yang sebenarnya bersifat negatif, digunakan untuk mengirimkan pengaruh buruk pada suatu target dengan berbagai efek yang melukai orang yang dituju. Menurut Uwaq Unding, seniman Kalindaqdaq Mandar yang telah bersentuhan dengan dunia ini, harus melakukan perjalanan setahun sekali untuk menemui para korbannya. Jika ilmu doti tidak dijalankan maka doti akan berdampak pada pemilik doti itu sendiri, oleh karena itu ia harus mencari korban jika tidak ingin pemiliknya terkena dampak negatifnya.


Bahkan akan banyak hal aneh yang akan terjadi jika ilmu doti ini didekati, hal-hal yang diluar logika manusia bisa saja terjadi, karena itu pelakunya cenderung aneh-aneh. Orang yang tersakiti dan kecewa biasanya adalah pelaku ilmu ini atau mereka yang mendatangi orang yang memiliki ilmu ini untuk kemudian mengirimkan doti ini untuk menyakiti musuhnya. Jika seseorang mempelajari ilmu doti dan dia sudah bisa melihat sesuatu yang tidak mungkin dilihat orang biasa, maka itu tandanya dia telah memiliki kemampuan doti yang biasanya didapat dari seorang guru.



Nilai Sebuah Doti atau Paissangang

Lalu haruskah melestarikan dunia yang kita ketahui berdampak negatif terhadap sesama manusia yang bertujuan untuk melemahkan atau menyakiti bahkan terkadang membunuh kehidupan ini? Tidak bijaksana kemudian mengambil warisan leluhur kita dan menerapkannya pada orang yang tidak kita sukai.


Beberapa mantra dan welas asih tersebut mungkin dapat kita tarik nilai-nilai positifnya, ada nilai sugesti dan keyakinan yang mendalam dalam penyebutan mantra-mantra tersebut. Nilai ini patut diambil dan dijadikan pelajaran bagi generasi sekarang, bagaimana kemudian para leluhur begitu yakin mendapatkan pengaruh, meski hanya dengan untaian kata yang terkadang cukup aneh untuk disimak. Nilai motivasi yang kuat juga salah satu yang bisa diambil, ada motivasi kuat di balik mantra cinta yang di ucapkan.



Mantra Mandar Sentrum Sebuah Harapan

“Tambako tuo di lita, tuo leppang. iyyau na porannu na pobalisa I Cicci pandeng mawarraq, nasengaq na salili di lalang tindo na. Barakkaq kumpayakum''.


Ini adalah salah satu contoh penggalan mantra pelet dalam komunitas masyarakat Mandar.


Saya tidak tahu apa proses mantra untuk menghasilkan efek dapat dijelaskan dengan akal sehat. Itu hampir tidak pernah bisa dirasionalisasi. Namun, dari kata-kata mantra yang dalam ini kita sering menemukan center atau pusat harapan, suatu bentuk doa yang begitu filosofis sehingga diungkapkan dalam kombinasi kata-kata yang mengarah pada harapan membentuk efek yang diinginkan. Ia terkadang mengambil perumpamaan alam seperti kekuatan angin, kekuatan air, atau bahkan kekuatan api. Ada mimpi yang diwujudkan dengan harapan bantuan alam untuk mencapai tujuan manusia.


Kisah Hidup Imam Lapeo (K. H. Muhammad Tahir)

Kisah Hidup Imam Lapeo (K. H. Muhammad Tahir)

Siapa yang tidak kenal sosok beliau, yaitu K. H. Muhammad Tahir yang sering disebut Imam Lapeo bagi masyarat di Sulawesi Barat. Pada masa kanak-kanaknya, oleh orang tuanya memberikan nama kepada Imam Lapeo yaitu Junaihim Namli. Sejak kecil ia dikenal masyarakat sebagai anak yang patuh dan taat kepada oran tua, beliau dikenal jujur, pemberani, dan punya kemauan yang sanga keras.


K. H. Muhammad Tahir Iman Lapeo berlatar belakang keluarga yang taat beragama. Bapaknya bernama Muhammad bin Haji Abdul Karim Abtalahi, disamping bekerja sebagai petani dan nelayan, juga menjadi guru mengaji Al Quran. Guru mengaji handal yang diwariskan oleh nenek K. H. Muhammad Iman Lapeo yaitu H. Abd. Karim Abtallahi (juga populer dengan nama Nugo kepada anaknya, Muhammad). Nenek Iman Lapeo salah seorang penghafal Quran yang terkenal dizamannya. Istrinya bernama St. Rajiah, yang menurut silsilah keturunannya berasal dari keturunan Hadat Tenggelang (Tenggelang, suatu daerah yang berstatus distrik dalam wilayah pemerintahan swapraja Balanipa dahulu, sekarang termasuk pemerintahan wilayah Kecamatan Campalagian).


Latar belakang yang taat beragama inilah yang sangat berpengaruh dalam proses perkambangan jiwa K. H. Muhammad Tahir Imam Lapeo dan mewarnai kehidupannya sejak beliau kanak-kanak. Sebagai seorang anak nelayan ia telah terbiasa dengan arus dan gelombang laut ketika menemani ayahnya mencari ikan. Tidak mengherankan sejak umur 15 tahun beliau telah berani mengikuti pamannya Haji Bukhari ke Padang, Sumatera Barat berdagang lipa’ sa’be (sarung sutra).


Pada umur 27 tahun Muhammad Tahir dikawinkan oleh gurunya Sayid Alwi Jamalullil bin Sahil (seorang ulama besar dari Yaman) dengan seorang gadis bernama Nagaiyah (kemudian berganti nama menjadi Rugayah). Pada perkawinan inilah nama Junahim Namli diganti oleh gurunya (Sayid Alwi) menjadi Muhammad Thahir, nama yang dikenal sampai sekarang.


Di bidang pendidikan, pendidikan formalnya tidak menonjol. Dalam mengikuti pendidikan non-formal ia lebih tertarik pada pelajaran-pelajaran agama Islam. Di usia kanak-kanaknya Junahim Namli telah khatam Al Quran beberapa kali melampaui teman-teman sebayanya.


Menjelang usia remaja, ia lebih memperdalam bahasa Arab seperti nahwu syaraf di Pambusuang. Lalu dia pergi ke Pulau Salemo (masa itu sangat terkenal sebagai tempat pendidikan pesantren yang melahirkan para ulama di bawah bimbingan ulama besar dari Gresik, Jawa Timur) menimba dan menambah ilmu-ilmu agama Islam. Beberapa tahun ia tinggal disalemo. Kemudian ia pergi ke Padang, Sumatra Barat dan tinggal selama 4 tahun menambah ilmu. Sesudah itu melanjutkan perjalanannya ke Mekah menuntut ilmu agama, mendatangi ulama besar memperdalam ilmu fikih, tafsir, hadits, teologi dan lain-lain. Ia tinggal di Mekah beberapa tahun lamanya. Dalam perjalanan K.H. Muhammad Tahir Iman Lapeo mengembangkan dakwah Islam, ia telah melakukan perkawinan sebanyak enam kali. Perkawinan ini didasarkan kepada kesadaran K. H. Tahir Imam Lapeo bahwa kawin dengan bersandarkan syariat Islam adalah merupakan strategi dakwah yang sangat efektif dalam mengenbangkan dan atau menyebarkan agama Islam. Hal itu ditandai dengan kenyataan, beberapa istrinya berasal dari keluarga elit dalam masyarakat Mandar dizamannya yang dianggap sangat bisa menunjang perjuangan dakwahnya.


Istri pertama bernama Rugaya melahirkan keturunan 8 anak yaitu: St. Fatima, St. Hadiyah, Muhammad Yamin, Abd. Hamin, Muhammad Muchsin, St. Aisyah, St. Marhumah.Istri kedua, Sitti Khalifah, tidak melahirkan keturunan. Istri ketiga Sitti Khadijah, melahirkan satu orang anak yaitu Najamuddin, dan yang istri keempat Sitti Attariah, tidak melahirkan anak. Keempat istrinya itu adalah putri-putri tokoh masyarakat.


Dalam meluncurkan visi misi dakwah ke daerah Mamuju ia diangkat menjadi Kali ‘Kadi’ Kerajaan Tappalang (sekarang dalam wilaya Kecamatan Tappalang, Kabupaten Mamuju). Di Mamuju K. H. Muhammad Tahir Imam Lapeo mengawini seorang putri sayid yang bernama Syarifah Hamidah tetapi tidak melahirkan keturunan. Pada perkawinan yang terakhir dengan Sitti Amirah melahirkan empat orang anak yaitu Abdul Muttalib, Siti Ssabannur, Siti Asiah dan Siti Aminah.Putra-putri K. H. Muhammad Thahir Imam Lapeo sebagian besar melanjutkan usaha bapaknya mengabdi untuk kepentingan agama Islam. Salah seorang putrinya yang bernama Hj. Aisyah Tahir, populer dengan panggilan Ummi Aisyah, adalah tokoh wanita Sulawesi Selatan pernah memimpin Muslimat Nahdatul Ulama, yang menjelang akhir hayatnya Ummi Aisyah dikenal sebagai wanita yang memiliki kemampuan metafisik yang lebih.



K. H. Muhammad Thahir Imam Lapeo menghembuskan nafas terakhir dengan tenang dalam usia 114 tahun, pada hari Selasa 27 Ramadhan 1362 H. Bertepatan tanggal 17 Juni 1952 di Lapeo (sekarang wilayah kecamatan Campalagian, kabupaten Polewali Mandar). Dimakamkan di halaman mesjid Nur Al-Taubah di Lapeo (mesjid yang di kawasan Mandar dikenal juga dengan sebutan Masigi Lapeo ‘Mesjid Lapeo’ yang terkenal dengan menaranya).


Makam K. H. Muhammad Thahir Imam Lapeo sampai sekarang banyak dikunjungi oleh masyarakat yang datang dari berbagai daerah Mandar, dan daerah-daerah lain dari luar Mandar.K. H Muhammad Thahir Imam Lapeo terkenal juga dengan gelar To Salamaq Imam Lapeo.Dalam bidang tasawuf dan tarekat, K. H. Muhammad Thahir Imam Lapeo mengacu kepada tasawuf dan tarekat Syadziliah.


Isi Perjanjian Lujo Suku Mandar

Isi Perjanjian Lujo Suku Mandar

(Sipamandaq di Lujo atau Allamungang Batu di Lujo)


Perjanjian Lujo atau Sipamandaq di Lujo merupakan perjanjian terakhir yang dilaksanakan secara resmi antara Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana Binanga sampai masuknya Belanda di daerah Mandar pada tahun 1904 masehi. 


Perjanjian ini dilaksanakan pada abad XVIII – XIX masehi dengan tujuan utama yang tidak berbeda jauh dengan perjanjian-perjanjian sebelumnya. Selain masih adanya pelarian tawanan perang kerajaan Passokkorang dari Balanipa yang menimbulkan kesalah pahaman antara Balanipa dengan Tomaqdua Taking Tomattallung Sulengka di Rante Bulahang, juga yang paling penting dalam perjanjian ini adalah lahirnya kesepakatan mempertegas konsekuensi persatuan Pitu Ulunna Salu engan Pitu Baqbana Binanga dalam satu kesatuan budaya dan suku dengan sebutan Mandar. Kesepakatan ini dikenal dengan nama “Passemandarang”.


Secara lengkap, isi Perjanjian Lujo atau Sipamandaq di Lujo adalah:


Taqlemi Manurunna peneneang uppassambulo-bulo anaq appona di Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga, nasaqbiq dewata diaya dewata diong, dewata di kanang dewata di kaeri, dewata diolo dewata diwoeq, menjarimi Passemandarang.


Terjemahan :


Sudah terbukti kesaktian leluhur menyatukan anak cucunya di Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga, disaksikan dewata di atas dewata di bawah, dewata di kanan dewata di kiri, dewata di depan dewata di belakang, bersatulah seluruh Mandar.


Tannisapaq tanni atoning, maq-allonang mesa melatte samballa, siluang sambu-sambu sirondong langiq-langiq, tassi pande peoqdong, tassi padzundu pelango, tassi pelei dipanra tassi aluppei diapiangang.


Terjemahan :


Tak berpetak tak berpembatas, bersatu bulat bertikar selembar di bawah satu atap, tidak saling member makanan bertulang dan minuman beracun, tidak saling meninggalkan dalam kesusahan dan tidak saling melupakan dalam kebaikan.


Sipatuppu di adaq sipalete dirapang, Adaq Tuho di Pitu Ulunna Salu , Adaq Mate dimuane Adaqna Pitu Baqbana Binanga.


Terjemahan :


Saling menghargai dan menghormati hukum dan peraturan masing-masing. Hukum hidup di Pitu Ulunna Salu, Hukum Mati di suami adatnya Pitu Baqbana Binanga/Balanipa.


Saputangang di Pitu Ulunna salu, Simbolong di Pitu baqbana Binanga.


Terjemahan :


Destar/ikat kepala di Pitu Ulunna salu, sanggul di Pitu Baqbana Binanga.


Pitu Ulunna Salu memata disawa, Pitu Baqbana Binanga memata dimangiwang.


Terjemahan :


Pitu Ulunna Salu mengawasi ular, Pitu Baqbana Binanga mengawasi ikan Hiu.


Sisaraq pai mata malotong annaq mata mapute annaq sisaraq Pitu Ulunna salu Pitu baqbana Binanga.


Terjemahan :


Nanti terpisah mata hitam dan mata putih baru bisa terpisah Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga.


Moaq diang tomangipi mangidzang mambattangang tommuane namappasisara Pitu Ulunna salu Pitu baqbana Binanga, sirumungngi anna musesseq-i, passungi anaqna annaq muanusangi sau di uwai tammembaliq.


Terjemahan :


Bila ada orang yang mimpi mengidam/mengandung anak laki-laki yang akan memisahkan Pitu Ulunna salu dengan Pitu Baqbana Binanga, segera belah perutnya dan keluarkan bayi yang dikandungnya lalu hanyutkan di air tak kembali.


Beberapa penggali dan penulis sejarah budaya Mandar berpendapat bahwa dari Perjanjian Lujo atau Sipamandaq di Lujo inilah cikal bakal lahirnya nama Mandar. Namun dari bukti-bukti lontar yang ada, nama Mandar sudah ada jauh sebelum terbentuknya Pitu Ulunna salu dan Pitu Baqbana Binanga. Hanya saja, mungkin baru popular pada saat Perjanjian Lujo dilaksanakan.


Hanya saja, pemakaian nama Mandar secara umum belum ada akibat adanya dua kelompok atau persekutuan, sehingga nama Mandar seolah tenggelam dan lebih dikenal dengan Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga.


Dalam Perjanjian Lujo inilah kedua persekutuan tersebut bersepakat menjalin persatuan dan kesatuan wilayah serta mengembalikan nama Mandar sebagai bukti dari kesepakatan kebersamaan mereka. Itulah sebabnya Perjanjian Lujo ini lebih dikenal juga dengan istilah Passemandarang, yang artinya Mandar keseluruhan walaupun terbagi dalam dua kelompok persekutuan yaitu Pitu Ulunna salu dan Pitu baqbana Binanga.


 ****


Daftar Kepustakaan



Abdul Muttalib ; Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Jakarta 1977.


Ibrahim, MS ; Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X, Tinambung Polmas 1977.


H. Saharuddin ; Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.


Ahmad Sahur ; Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang 1975.


Drs. Suradi Yasil dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang 1982


Drs. Suradi Yasil dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar – Proyek IDKD Sulsel 1985.


A.M.Mandra ; Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987


A.M.Mandra ; Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.


A.M.Mandra ; Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan Saq-Adawang, 2000.


Abd.Razak, DP ; Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.


Sumber Data

Sumber tertulis ;

Lontar Balanipa Mandar

Lontar Sendana Mandar

Lontar Pattappingang Mandar

Lembar Perjanjian kuno

Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar


Sumber Wawancara

H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan Budayawan Mandar

Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar

Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar

Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar

Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar

Daeng Matona – Hadat Pamoseang

Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq


Editor

Adi Ahsan, S.S.M.Si.

Opy. MR.

Isi Perjanjian Damaq-damaq Suku Mandar

Isi Perjanjian Damaq-damaq Suku Mandar

 (Pura Kada di Damaq-damaq)


Walaupun kesepakatan yang diambil pada pada Perjanjian Ulumandaq telah menetapkan Paliliq Massedang masuk dalam wilayah persekutuan Pitu Baqbana Binanga dan istilah Pitu Ulunna Salu Pitu baqbana Binanga Kakaruanna Tiparittiqna Uhai, namun masalah belum terselesaikan dengan baik. Rasa tidak puas antara dua persekutuan masih tetap jadi pemicu komplik antara keduanya. 


Disamping itu, pengejaran terhadap orang-orang Passokkorang oleh Balanipa juga menimbulkan kesalh pahaman Rante Bulahmang ketika pihak Balanipa sampai ke wilayah Rante Bulahang mencari pelarian perang tersebut. Rante Bulahang mengira akan diserang oleh Balanipa.


Dua permasalahan inilah yang melatar belakangi diadakannya Perjanjian Damaq-damaq atau Pura Kada di Damaq-damaq tidak lama setelah diadakannya Perjanjian Ulumandaq abad XVIII masehi. Pihak-pihak yang terlibat pada perjanjian ini sama pada perjanjian Ulumandaq yaitu ; Pitu Ulunna Salu, Pitu Baqbana Binanga dan Paliliq Massedang yang bergelar Kakaruanna Tiparittiqna Uhai. 


Keputusan atau kesepakatan ini yang dihasilkan dalam Perjanjian damaq-damaq adalah : Paliliq Massedang berdiri sendiri yang memakai hukum dan adat istiadatnya sendiri dengan syarat hukum dan adat istiadat tersebut tidak boleh dibawa mendaki (ke Pitu Ulunna salu) dan tidak boleh dibawa menurun (ke Pitu Baqbana Binanga). Jadi bila mereka masuk ke kerajaan lain di Mandar, baik diwilayah Pitu Ulunna Salu maupun diwilayah Pitu Baqbana Binanga, mereka harus ikut pada hukum dan adat istiadat daerah setempat.


Sementara kesepakatan yang diambil mengenai kesalah pahaman antara Balanipa dan Rante Bulahang, sama dengan bunyi kesepakatan pada Perjanjian Lakahang ketika terjadi kesalah pahaman antara Aralle dengan Balanipa dalam masalah yang sama.


Perjanjian Damaq-damaq


Secara lengkap, isi kesepakatan dalam perjanjian Damaq-damaq atau pura kada di Damaq-damaq adalah sebagai berikut :


Tandi buttumi tandi rappaq lembong tomi Paliliq Massedang. Naposoe soena napojappa jappana, adzaqna napeadzaq, rapanna naperapang di litaqna. Monete di petawung marorona, nadzandang bassiq napagittirna di litaqna. Iya kia, iqda mala napetueang napembuloloang adzaqna tettoi rapanna.


Terjemahan :


Tidak lagi di gunung dan juga tidak di laut Paliliq Massedang. Dia bebas dengan segala aturan dan hukum serta adat istiadatnya sendiri di wilayahnya. Hanya saja, dia tak bisa membawa mendaki dan menurun.


Pengertian dari bunyi kesepakatan ini adalah ; Bahwa Paliliq Massedang sudah berdiri sendiri atau tidak ikut pada salah satu persekutuan, baik Pitu Ulunna Salu maupun Pitu Baqbana Binanga. Segala aturan dan adat istiadatnya bebas dijalankan pada wilayahnya sendiri dan tidak bisa dibawa apa bila masuk kewilayah Pitu Ulunna Salu atau Pitu baqbana Binanga.


Metueq tassayu membulolo tammayule eloq dialawena, tanna petueang napembuloloang adzaqna.


Terjemahan :


Mendaki boleh, menurun juga boleh, sesuai keinginan dan kemauannya, tetapi adat kebiasaannya tidak boleh dibawa serta.


Pengertian dari bunyi kesepakatan ini adalah : Bahwa Paliliq Massedang berada dalam posisi netral. Bila ada kegiatan, seperti musyawarah atau pertemuan-pertemuan interen di Pitu Ulunna salu, maka dia bisa ikut sebagai anggota Pitu Ulunna salu. Begitu juga di Pitu Baqbana Binanga.


Naiya jangang-jangang merriqbaqna Balanipa, inna-inna naenge mettopa iya womo urunganna, nana poware tomi tia litaq napettopai. Iya kia, napaissangngi Balanipa.


Terjemahan :


Tentang merpati lepasnya Balanipa, dimana dia hinggap disitulah sebagai sangkarnya, itu sudah merupakan milik daerah atau wilayah tempatnya berlindung. Hanya saja, Balanipa harus diberi tahu.


Pengertian dari bunyi kesepakatan ini adalah : Bahwa tawanan perangnya Balanipa (orang-orang Passokkorang) yang melarikan diri sudah menjadi milik kerajaan yang wilayahnya ditempati memohon perlindungan. Hanya saja, harus diberi tahukan pada pihak Balanipa.


Sejak dari Perjanjian Damaq-damaq inilah, istilah Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga tidak pernah lagi dan daerah Paliliq Massedang berdiri sendiri sejajar dengan empat belas kerajaan lainnya di Mandar.


Jadi kenyataannya, wilayah Mandar sesudah Perjanjian Damaq-damaq seharusnya dikatakan ; Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga dan wilayah Paliliq. Dikatakan wilayah Paliliq, karena Paliliq sendiri terdiri dari beberapa kerajaan yang lebih dikenal dengan nama : Daerah Lembang Mapi atau daerah Tuqbi.



 ****


Daftar Kepustakaan



Abdul Muttalib ; Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Jakarta 1977.


Ibrahim, MS ; Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X, Tinambung Polmas 1977.


H. Saharuddin ; Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.


Ahmad Sahur ; Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang 1975.


Drs. Suradi Yasil dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang 1982


Drs. Suradi Yasil dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar – Proyek IDKD Sulsel 1985.


A.M.Mandra ; Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987


A.M.Mandra ; Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.


A.M.Mandra ; Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan Saq-Adawang, 2000.


Abd.Razak, DP ; Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.


Sumber Data

Sumber tertulis ;

Lontar Balanipa Mandar

Lontar Sendana Mandar

Lontar Pattappingang Mandar

Lembar Perjanjian kuno

Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar


Sumber Wawancara

H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan Budayawan Mandar

Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar

Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar

Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar

Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar

Daeng Matona – Hadat Pamoseang

Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq


Editor

Adi Ahsan, S.S.M.Si.

Opy. MR.


Isi Perjanjian Ulumandaq Suku Mandar

Isi Perjanjian Ulumandaq Suku Mandar

 Perjanjian Ulumandaq adalah rangkaian Perjanjian Sungkiq yang dilaksanakan karena kesepakatan yang diambil dalam perjanjian tersebut ternyata membawa masalah antara Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana Binanga yaitu tentang bergabungnya Paliliq Massedang ke wilayah Pitu Ulunna salu.


Di Pitu Ulunna Salu, timbul semacam rasa curiga antara Bambang dengan Paliliq karena Paliliq pernah jadi satu Lembang (wilayah) di Pitu Ulunna Salu dalam status Goalinna Kadaneneq kemudian Paliliq keluar dan kedudukannya digantikan oleh Bambang. Mungkin dengan bergabungnya kembali Paliliq ke Pitu Ulunna Salu, Bambang merasa khawatir kedudukan itu akan diambil kembali oleh Paliliq.


Sedangkan di Pitu Baqbana Binanga terjadi semacam rasa kehilangan karena masyarakat sudah banyak yang kawin mawin dengan masyarakat Paliliq dan keakraban terjalin dengan sendirinya, termasuk adaptasi adat istiadat masing-masing.


Dalam Perjanjian Ulumandaq ini, Paliliq Massedang akhirnya kembali masuk ke wilayah persekutuan Pitu Baqbana Binanga dan istilah Pitu Ulunna Salu Kakaruanna Tiparittiqna Uhai Pitu Baqbana Binanga berubah menjadi Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga Kakaruanna Tiparittiqna Uhai. Namun kesepakatan ini juga tidak merubah nama Pitu (tujuh) Baqbana Binanga menjadi Arua (delapan) Baqbana Binanga, tapi status Paliliq Massedang di Pitu Baqbana Binanga tetap menjadi satu wilayah kekuasaan Pitu Baqbana Binanga yang memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan tujuh kerajaan lainnya. 


Jadi secara umum, pengertian Pitu Baqbana Binanga Kakaruanna Tiparittiqna Uhai adalah ; Tujuh kerajaan di muara sungai ditambah kerajaan-kerajaan di wilayah Paliliq Massedang.


Yang terlibat dalam perjanjian ini adalah ; Pitu Ulunna Salu, Paliliq Massedang dan Pitu Baqbana Binanga.


 ****


Daftar Kepustakaan



Abdul Muttalib ; Kamus Bahasa Mandar – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Jakarta 1977.


Ibrahim, MS ; Himpunan Catatan Sejarah Pitu Ulunna Salu – Hasil Seminar Sejarah Mandar X, Tinambung Polmas 1977.


H. Saharuddin ; Mengenal Pitu Baqbana Binanga Mandar Dalam Lintas Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan – CV Mallomo Karya Ujung Pandang 1985.


Ahmad Sahur ; Nilai-Nilai Budaya dalam Sastra Mandar – Fakultas Sastra Unhas Ujung Pandang 1975.


Drs. Suradi Yasil dkk ; Kalindaqdaq dan Beberapa temanya – Balai Penelitian Bahasa, Ujung Pandang 1982


Drs. Suradi Yasil dkk ; Inventarisasi Transliterasi Penerjemahan Lontar Mandar – Proyek IDKD Sulsel 1985.


A.M.Mandra ; Caeyana Mandar – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1987


A.M.Mandra ; Buraq Sendana (kumpulan Puisi Mandar) – Yayasan Saq-Adawang Sendana 1985.


A.M.Mandra ; Beberapa Kajian Tentang Budaya Mandar Plus jilid I,II dan III – Yayasan Saq-Adawang, 2000.


Abd.Razak, DP ; Sejarah Bone – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang 1989.



Sumber Data

Sumber tertulis ;

Lontar Balanipa Mandar

Lontar Sendana Mandar

Lontar Pattappingang Mandar

Lembar Perjanjian kuno

Naskah-naskah Seminar Budaya Mandar



Sumber Wawancara

H. Abdul Malik Pattana Iyendeng – Sesepuh, Sejarawan dan Budayawan Mandar

Abd. Azis Puaqna Itima – Sejarawan, Budayawan Mandar

Puaq Tanniagi – Sejarawan Budayawan Mandar

Paloloang Puanna Isinung – Budayawan Mandar

Puaq Rama Kanne Cabang – Budayawan Mandar

Daeng Matona – Hadat Pamoseang

Jabirung – Soqbeqna Indona Ralleanaq


Editor

Adi Ahsan, S.S.M.Si.

Opy. MR.